Anak lelaki itu berumur lima atau enam tahun. Ia mengenakan kemeja putih dan pullover kotak-kotak hijau dengan logo taman kanak-kanak di dada kiri. Di bahunya tersandang tas punggung merah dan di dadanya tersilang tali botol minuman. Ia kelihatan lucu dan manis.
Begitu naik ke dalam angkot, bocah itu menunjukkan hasil origaminya pada wanita yang mungkin ibunya. Seekor burung yang sedikit kusut dan penyok. Ia juga menyanyikan lagu baru yang diajari gurunya hari itu.
Lihat ibu keretaku yang baru cukup besar untuk ayah dan ibu roda tiga buatanku sendiri dari kulit buah jeruk bali...'
Aku tersenyum geli mendengar suaranya yang agak sumbang tapi penuh semangat. Bocah itu balas tersenyum padaku, kemudian kembali asyik memberondong ibunya dengan berbagai cerita. Mulutnya tak henti mengunyah donat yang barangkali dibelikan ibunya di depan sekolah. Ibunya menyahut sesekali dengan anggukan atau gumaman setengah tak peduli, sementara tangannya mengibaskan lukisan krayon anaknya untuk menghalau panas.
Aku tidak menyalahkannya. Cuaca siang itu memang panas dan kemacetan jalan membuat udara pengap. Melihat bungkusan yang terserak di kakinya, aku yakin ia telah menghabiskan paginya untuk berbelanja kebutuhan dapur. Tak heran ia kelihatan sangat letih, mengantuk dan tak begitu bersemangat mendengar cerita anaknya di sekolah hari itu.
Atmosfer yang menyengat tidak mengalihkan perhatianku dari anak itu. Kureguk tiap kata dan lagu yang dinyanyikannya seperti pengelana kehausan yang menemukan wadi di tengah gurun. Alangkah rindunya aku akan semua itu. Aku tak ingin membandingkan anakku dengan bocah lucu di angkot itu, tapi mau tak mau Khalid singgah ke dalam benakku dan merusak kenikmatanku.
Setiap kali memeriksakan diri selama mengandung Khalid, bidan selalu mengatakan kehamilanku normal dan bayiku sehat. Karena itu aku dan suami sama sekali tak siap waktu dokter memberi tahu bahwa Khalid tidak normal. Ia lahir dengan Down syndrome.
Menyakitkan. Masa depan anakku sudah ditentukan oleh dokter hanya beberapa menit setelah kelahirannya. Khalid tidak akan tumbuh seperti anak normal dan dia tidak akan bisa menjadi orang dewasa normal yang mampu mengurus dirinya sendiri.
Selain itu dokter juga menemukan kelainan pada jantungnya yang harus diperbaiki dengan pembedahan. Ada juga gangguan mata dan tonsil. Hal yang menurut dokter biasa menimpa anak Down syndrome.
Shock yang kualami setelah melahirkan Khalid cukup berat hingga aku harus dirawat agak lama di rumah sakit. Aku sangat tertekan hingga bahkan tak bisa menyusui Khalid. Dokter memperkenalkanku dengan wanita pakar penanganan anak Down syndrome. Wanita itu memberikan buku-buku dan brosur kepada kami.
Tapi, semua yang kubaca malah semakin membuatku tertekan. Sejak dokter menyatakan bahwa aku positif mengandung, aku selalu berdoa dan bermimpi tentang seorang anak yang cerdas dan lincah. Anak yang akan kubimbing mengenal Allah dan Rasul-Nya. Yang akan kuajari mengaji dan shalat agar ia bisa mendoakan kedua orang tuanya. Ia akan kubawa tafakur alam ke tempat-tempat yang indah agar pandai bersyukur dan memiliki sifat tawadlu.
Aku akan memperkenalkannya pada saudara-saudaranya yang yatim dan papa agar hatinya lembut dan peka. Yang akan mencintai buku-buku seperti aku dan ayahnya. Anak yang akan jadi seorang pejuang di jalan Allah, demi kebangkitan dan kejayaan Islam seperti panglima gagah itu, Khalid bin Walid.
Kubayangkan jari mungil anakku menyusuri huruf-huruf dalam lembaran mushaf Al Qur-an. Jika lelaki, ia pasti lucu dalam baju koko dan peci mungilnya dan jika perempuan, ia pasti manis dalam jilbab kecilnya yang berbunga dan berenda
Rasanya aku bahkan sudah bisa mendengar suaranya yang bening melantunkan ayat-ayat suci itu. Suara terindah yang pernah kudengar.
Lalu ke mana bisa kukubur kecewaku saat mendapati Khalid tak mungkin mewujudkan semua impianku. Aku hanya bisa berdoa siang malam memohon kekuatan. Aku mengintrospeksi diri, mengingat kembali apa yang telah kulakukan hingga Allah menghukumku dengan memberikan Khalid.
Hingga suatu hari kalimat itu menohokku. Anakku adalah amanat-Nya, bukan hukuman, bukan aib. Hanya titipan, bukan milikku. Apakah aku berhak menggugat jika titipan-Nya ternyata tidak seperti anak-anak lain? Aku hanya ditugaskan menjaga dan mengasuhnya dengan cinta, karena ia dititipkan Allah yang rahman dan rahim-Nya tak pernah surut dari sisiku. Bukan tugasku menilai apakah Khalid layak jadi anakku atau tidak. Setelah itu aku kembali menemukan ketenangan.
Tapi tak urung kesedihan itu kerap. Sangat menyakitkan. Tiap kubawa Khalid ke dokter dan melihat ibu lain dengan bayi seumur Khalid, aku kembali terbenam dalam kepiluan. Entah untuk Khalid atau untuk diriku sendiri.
Bulan demi bulan berlalu. Sementara bayi lain mulai tertawa dan mengeluarkan suara-suara lucu, Khalid hanya diam. Ia memandang kosong ke depan.
Tiap hari suamiku dan aku harus bergantian merangsang otaknya dengan mainan warna-warna dan kerincingan yang ribut. Khalid baru menunjukkan reaksi saat usianya hampir delapan bulan.
Khalid baru belajar berjalan di usia dua tahun. Bicaranya tak pernah selancar anak-anak lain dan kosa katanya sangat terbatas. Ia tak bisa mandi dan berpakaian sendiri hingga usianya hampir sembilan tahun. Ia harus disuapi tiap waktu makan sampai ia bisa makan sendiri beberapa bulan terakhir ini.
Yang paling menjengkelkan, sulit sekali membiasakannya buang air di kamar mandi walaupun aku dan suamiku sudah mengajarinya selama delapan tahun dari sepuluh tahun usianya.
Mengajari Khalid salat dan mengaji hampir tak mungkin. Khalid hanya bisa mengikuti gerakan-gerakan salat tanpa bisa menghafal bacaannya.
Setelah beberapa lama, kami menyadari kesalahan kami dan mulai dari awal sekali. Mengakrabkan Khalid dengan Allah dan Islam. Sesuatu yang lebih mudah dilakukan dan dipahami Khalid.
'Di belakang rumah ada pohon jambuu...' suara lantang bocah berseragam TK diangkot itu mengembalikan perhatianku pada polahnya yang kocak. Tapi kali itu aku tak bisa menikmatinya tanpa merasa iri. Iri pada ibu yang tak menyadari besarnya nikmat Allah yang dimilikinya. Ada kegeraman dan rasa kasihan pada diri sendiri yang tiba-tiba bergolak dan menenggelamkanku.
Membuat dadaku sesak dan leherku tercekik. Aku tak tahu apakah harus menyesal atau gembira saat anak itu akhirnya turun dari angkot.
Di bangku yang mereka tinggalkan kulihat burung-burungan kertas itu gepeng. Kupungut dan kuperbaiki. Tiba-tiba mataku kabur oleh air mata. Khalid tak bisa melukis dengan krayon atau membuat origami. Koordinasi tangannya lemah sekali.
Dalam kepalanku yang gemetar, burung-burungan itu kuremas menjadi gumpalan kertas. Aku tak sanggup lagi menahan isak. Dengan suara tercekat kusuruh sopir berhenti. Kusodorkan ongkos dan turun, walaupun rumahku masih jauh.
Aku duduk di halte yang sepi. Menarik nafas dalam-dalam dan mengeringkan air mata. Saat aku menengadah mataku tertambat pada papan putih di seberang jalan. Sebuah masjid. Ya Allah, inikah teguran-Mu.? Aku menyeberang. Segera kuambil wudhu dan salat dua rakaat. Air mataku menetes saat kubaca ayat kedua belas dari surat lukman... Anisykurlillahi....
Usai mengucap salam aku tercenung. Kekalutan yang sempat menguasai sudah berhasil kukendalikan. Aku merasa kosong, tapi damai. Lalu satu- satu fragmen kehidupan Khalid mulai kembali ke dalam benakku. Bukan gambaran muram tentang kekurangannya, tapi keistimewaan-keistimewaan kecil yang mengimbangi dan melengkapi hidupnya.
Khalid suka sekali musik. Ia sulit menangkap dan menghafal lirik, tapi kenikmatan yang terlukis di wajahnya saat mendengarkan musik adalah keindahan tersendiri. Ia juga tak pernah nakal dan usil, selalu ramah dan murah senyum. Ia tak pernah marah dan ngambek, dan jika dimarahi, cepat kembali ceria.
Ia sangat mencintai adiknya Fatimah, yang lahir empat tahun lalu. Kami sempat khawatir Khalid akan cemburu dengan kehadiran adiknya. Tapi ia malah antusias membantuku mengurus Fatimah. Sering kudapati Khalid duduk menatap adiknya yang tertidur dengan ekspresi terpesona yang tak terlukiskan.
Fatimah normal dan cerdas sekali tapi ia menerima abangnya tanpa syarat. Kemesraan di antara keduanya selalu menerbitkan syukur di hatiku dan ayah mereka. Mengurus Khalid memang menuntut kesabaran dan kegigihan ekstra dibandingkan mengasuh anak biasa. Tapi Khalid memang bukan anak biasa.
Ia telah mengajarkan kepada kami makna mencintai tanpa pamrih yang hakiki. Di zaman saat orang memburu segala yang superlatif; tercantik, terpandai, tergesit, anakku tidak akan bisa bersaing. Ia tidak mungkin menjadi teknolog, ekonom atau da'i tersohor.
Tapi apakah itu akan mengurangi cinta kami padanya? Mengurangi kegembiraan melihat prestasi-prestasi kecilnya yang dianggap remeh dan sepele orang lain seperti bisa berpakaian dan makan sendiri? Aku dan ayahnya tak akan memperoleh apa-apa darinya. Kemungkinan besar Khalid akan terus tergantung pada kami. Dan setelah kami tak sanggup lagi, mungkin pada Fatimah.
Tapi kami memang tak lagi mengharapkan apapun darinya. Kami hanya mencintainya. Kudorong gerbang rumah dan kuserukan salam. Sahutan riang menyambutku. Pintu terkuak. Fatimah menghambur memelukku sementara abangnya tersenyum lebar sambil berjalan goyah di belakangnya.
'Ibu bawa apa, bawa apa?' tanya Fatimah. Ia memekik ketika kukeluarkan sekantung mangga ranum dari keranjang belanjaku. Khalid tersenyum. Matanya yang semula kosong berbinar. Mangga adalah buah kesukaannya.
Aku masuk ke kamar untuk berganti baju setelah berpesan pada pembantu untuk mencuci dan mengupaskan mangga buat anak-anak. Saat aku keluar, mereka tidak berada di meja makan.
Kupanggil mereka dan kudengar sahutan dari halaman belakang. Di depan kandang burung parkit Fatimah melonjak-lonjak dan tertawa melihat abangnya dengan sabar menyodorkan potongan mangga lewat jeruji bambu. 'Ayo kuning! Jangan diam saja! Tuh diambil si hijau deh!' teriak Fatimah. Satu demi satu burung-burung parkit dalam kandang terbang menyambar potongan mangga dari tangan Khalid. Aku bertasbih. Mataku pedih. Sudah lama aku mengamati keistimewaan Khalid untuk mencintai dengan keikhlasan yang bersih dari egoisme anak seusianya. Cintanya sangat tulus pada burung-burung kesayangan suamiku, pada ikan hias dan ayam kate yang kami pelihara untuk mengajar anak-anak bertanggung jawab.
Bahkan pada bunga-bungaku di kebun. Ia gembira mengurus semua itu, walaupun tak pernah mendapat imbalan apapun dari kami. Kelembutannya terulur bahkan pada kucing-kucing liar yang sering diberinya makan atau anak-anak tetangga yang kerap mendapat bagian dari jatah kue dan buahnya tanpa menuntut balasan apapun.
Aku memang tak punya alasan untuk bersedih dan kecewa lagi. Khalid mungkin tak bisa membaca dan mengaji. Tapi perasaannya halus dan penuh kasih sayang. Dan aku sangat bersyukur atas kelebihannya tsb. Dan aku berjanji menjaga dan merawat titipan Ilahi tsb dengan penuh kasih sayang sampai dia bisa mandiri kelak, Semoga.
بِســمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم اللهم اِنا نَجْعَلُك فى نُحُورِ أعداءِنَا و نَعُوذُ بِك مِن شُرُورِهِم, اللهم بَدِّدْ شَمْلَهُم و فَرِّقْ جَمْعَهم و شَتِّتْ كَلِمَتَهم و زَلْزِلْ أَقْدَامَهم و سَلِّطْ عليهم كَلْبًا مِن كِلَابِك يا قهَّار , يا جبَّار اِهزِم الكفارYa Allah, Kami guru kimi-A! SPM seMalaysia sesi 2023 mdoakan keCEMERLANGan anak didik kami dlm kimi-A! SPM skor A+ utk semua PELAJAR. امين. Salam kimi-A! itu M U D A H ان شآء الله A! ...Chem-is- TRY اهلا وسهلارمضان 1446
Isnin, 7 Januari 2013
Ahad, 6 Januari 2013
6 pesanan
6 PESANAN UNTUK WANITA.
1. Jaga solat pada awal waktu.
Kalau datang haid sekalipun jika tidak dapat solat, kena
duduk atas tikar sembahyang supaya anak tidak lihat kita
meninggal solat.
2. Hidupkan Bacaan Hadis Nabi saw di rumah dengan keluarga.
Dianjur baca Hadis Fadhilat Amal. Ini amalan sahabiah zaman
Nabi saw sehingga dari rumah kita keluar anak-anak yg soleh
yg mendoakan kesejahteraan kedua ibubapa dunia/akhirat.
3. Baca Al Quran setiap hari walaupun hanya 8 ayat. Kalau tak
mampu nak baca kerana terlalu sibuk, cukup dengan mencium
Al Quran dan muhasabah 'Ya Allah, apa dosa saya hingga saya
tak dapat nak baca kitab Mu pada hari ini."
4. Mendidik anak secara Islam.
Mengajar anak-anak dari kecil bermula dengan doa-doa masnun.
Iaitu doa seharian Nabi saw saperti doa tidur, bangun tidur,
makan dan sebagainya.
5. Hidup sederhana dengan tidak membebankan suami.
Setiap hari malaikat akan menghantar 500 jambangan bunga dari
syurga untuk wanita yg hidup sederhana. Setiap titisan air
masakan dan basuhan mereka akan menjadi zikir mohon keampunan
kepada Allah swt atas wanita tersebut.
6. Galak suami untuk bermujahadah atas Agama Allah.
Seorang isteri yg menggalakan suaminya untuk solat berjemaah
di Masjid/Surau akan dapat pahala berjemaah suaminya termasuk
solat dia sendiri.
Mudahan-mudahan ulasan ringkas ini bermanfaat. Muzakarahlah
bersama teman wanita lain supaya hakikat amalan ini masuk
dalam hati kita dan mudah nak amalkan.
1. Jaga solat pada awal waktu.
Kalau datang haid sekalipun jika tidak dapat solat, kena
duduk atas tikar sembahyang supaya anak tidak lihat kita
meninggal solat.
2. Hidupkan Bacaan Hadis Nabi saw di rumah dengan keluarga.
Dianjur baca Hadis Fadhilat Amal. Ini amalan sahabiah zaman
Nabi saw sehingga dari rumah kita keluar anak-anak yg soleh
yg mendoakan kesejahteraan kedua ibubapa dunia/akhirat.
3. Baca Al Quran setiap hari walaupun hanya 8 ayat. Kalau tak
mampu nak baca kerana terlalu sibuk, cukup dengan mencium
Al Quran dan muhasabah 'Ya Allah, apa dosa saya hingga saya
tak dapat nak baca kitab Mu pada hari ini."
4. Mendidik anak secara Islam.
Mengajar anak-anak dari kecil bermula dengan doa-doa masnun.
Iaitu doa seharian Nabi saw saperti doa tidur, bangun tidur,
makan dan sebagainya.
5. Hidup sederhana dengan tidak membebankan suami.
Setiap hari malaikat akan menghantar 500 jambangan bunga dari
syurga untuk wanita yg hidup sederhana. Setiap titisan air
masakan dan basuhan mereka akan menjadi zikir mohon keampunan
kepada Allah swt atas wanita tersebut.
6. Galak suami untuk bermujahadah atas Agama Allah.
Seorang isteri yg menggalakan suaminya untuk solat berjemaah
di Masjid/Surau akan dapat pahala berjemaah suaminya termasuk
solat dia sendiri.
Mudahan-mudahan ulasan ringkas ini bermanfaat. Muzakarahlah
bersama teman wanita lain supaya hakikat amalan ini masuk
dalam hati kita dan mudah nak amalkan.
Kg Banjir KK
Saya insan prihatin dari Kuala Kangsar, Perak dan juga mewakili penduduk Kampung Banjir ingin meyuarakan ketidakpuasan hati kami.
Untuk pengetahuan pihak tuan kampung kami bernama Kampung Banjir kerana kerap banjir yang berlaku di kampung kami.
Untuk pengetahuan pihak tuan kampung kami bernama Kampung Banjir kerana kerap banjir yang berlaku di kampung kami.
Dah terlalu lama kami menahan perit di mana setiap kali hujan kampung kami akan dinaiki air malah turut memasuki rumah penghuni kampung.
Prosedur biasa lepas banjir puak puak Umno akan datang untuk ambil nama dan bagi bantuan RM200.
Untuk pengetahuan pihak tuan RM200 tak cukup pun, barang yang rosak mencecah RM1000.
Prosedur biasa lepas banjir puak puak Umno akan datang untuk ambil nama dan bagi bantuan RM200.
Untuk pengetahuan pihak tuan RM200 tak cukup pun, barang yang rosak mencecah RM1000.
Bila saya renung kembali kenapa boleh terjadi macam ini, sebabnya sistem perparitan kg kami sangat tidak dijaga (disertakan gambar utk pihak tuan sebagai bukti).
Terdapat lapan kawasan di mana airnya mengalir masuk melalui sistem perparitan kami antaranya Taman Kuala Kangsar, Perindustrian Perak Tex, Taman Anggerik, Stesen keretapi Kuala Kangsar dan beberapa tempat lain.
Kami dah buat aduan malah puak puak Umno ini dah cakap dah submit kepada pihak bertanggungjawab untuk pembersihan tapi dah lima bulan tak da tindakan.
Maka saya mengambil langkah ini agar kampung kami diberi perhatian yang serius.
Terdapat lapan kawasan di mana airnya mengalir masuk melalui sistem perparitan kami antaranya Taman Kuala Kangsar, Perindustrian Perak Tex, Taman Anggerik, Stesen keretapi Kuala Kangsar dan beberapa tempat lain.
Kami dah buat aduan malah puak puak Umno ini dah cakap dah submit kepada pihak bertanggungjawab untuk pembersihan tapi dah lima bulan tak da tindakan.
Maka saya mengambil langkah ini agar kampung kami diberi perhatian yang serius.
katak salad
Langgan:
Catatan (Atom)