*JENDERAL ADOLF ROBERTO*
Suatu sore pada tahun 1525, penjara tempat orang tahanan terasa hening mencengkam.
Jenderal Adolf Roberto, pemimpin penjara yang terkenal bengis, tengah memeriksa setiap kamar tahanan.
Setiap sipir penjara membungkukkan badannya rendah² ketika 'algojo penjara' itu berlalu di hadapan mereka.
Karena kalau tidak, sepatu 'jenggel' milik tuan Roberto yang fanatik itu akan mendarat di wajah mereka.
Roberto marah besar ketika dari sebuah kamar tahanan terdengar seseorang mengumandangkan suara² Ayat Suci yang amat ia benci.
_"Hai ... hentikan suara jelekmu..!! Hentikan..!!!"_
teriak Roberto sekeras-kerasnya sembari membelalakkan mata.
Namun apa yang terjadi?
Laki² di kamar tahanan tadi tetap saja bersenandung dengan khusyu'nya.
Roberto bertambah berang.
Algojo penjara itu menghampiri kamar tahanan yang luasnya tak lebih sekadar cukup untuk 1 orang.
Dengan congkak ia menyemburkan ludahnya ke wajah renta sang tahanan yang keriput hanya tinggal tulang.
Tak puas sampai di situ, ia lalu menyulut wajah dan seluruh badan orang tua renta itu dengan rokoknya yang menyala.
Sungguh ajaib...! tak terdengar secuil pun keluh kesakitan.
Bibir yang pucat kering milik sang tahanan amat gengsi untuk meneriakkan kata kepatuhan pada sang algojo, bibir keringnya hanya berkata lirih,
_"Rabbi, wa-anaa 'abduka."_
Tahanan lain yang menyaksikan kebiadaban itu serentak bertakbir sambil berkata,
_"Bersabarlah wahai ustadz ... Insyaa Allah tempatmu di Syurga..."_
Melihat kegigihan orang tua yang dipanggil ustadz oleh sesama tahanan, 'algojo penjara' itu bertambah memuncak amarahnya.
Ia perintahkan pegawai penjara untuk membuka sel, dan ditariknya tubuh orang tua itu keras² hingga terjerembab di lantai.
_"Hai orang tua busuk..!!_
_Bukankah engkau tahu, aku tidak suka bahasa jelekmu itu?!_
_Aku tidak suka apa-apa yang berhubungan dengan agamamu..!!"_
Sang Ustadz lalu berucap,
_"Sungguh ... aku sangat merindukan kematian, agar aku segera dapat menjumpai kekasihku yg amat kucintai, Allah Subhanahu wa ta'ala..._
_Karena kini aku berada di puncak kebahagiaan karena akan segera menemuiNya, patutkah aku berlutut kepadamu, hai manusia busuk?_
_Jika aku turuti kemauanmu, tentu aku termasuk manusia yang amat bodoh."_
Baru saja kata² itu terhenti, sepatu laras Roberto sudah mendarat di wajahnya.
Laki² itu terhuyung. Kemudian jatuh terkapar di lantai penjara dengan wajah bersimbah darah.
Ketika itulah dari saku baju penjaranya yang telah lusuh, meluncur sebuah 'buku kecil'.
Adolf Roberto bermaksud memungutnya. Namun tangan sang Ustadz telah terlebih dahulu mengambil dan menggenggamnya erat².
_"Berikan buku itu, hai laki² dungu..!"_ bentak Roberto.
_"Haram bagi tanganmu yang kafir dan berlumuran dosa untuk menyentuh barang suci ini!"_ ucap sang ustadz dengan tatapan menghina pada Roberto.
Tak ada jalan lain, akhirnya Roberto mengambil jalan paksa untuk mendapatkan buku itu.
Sepatu laras berbobot dua kilogram itu ia gunakan untuk menginjak jari² tangan sang ustadz yabg telah lemah.
Suara gemeretak tulang yang patah terdengar menggetarkan hati.
Namun tidak demikian bagi Roberto.
Laki² bengis itu malah merasa bangga mendengar gemeretak tulang yabg terputus.
Bahkan 'algojo penjara' itu merasa lebih puas lagi ketika melihat tetesan darah mengalir dari jari-jari musuhnya yang telah hancur.
Setelah tangan renta itu tak berdaya, Roberto memungut buku kecil yang membuatnya penasaran.
Perlahan Roberto membuka sampul buku yang telah lusuh.
Mendadak algojo itu termenung.
_"Ah ... sepertinya aku pernah mengenal buku ini. Tapi kapan?_
_Ya, aku pernah mengenal buku ini,"_ suara hati Roberto bertanya-tanya.
Perlahan Roberto membuka lembaran pertama buku itu.
Pemuda berumur tiga puluh tahunan itu bertambah terkejut tatkala melihat tulisan² "aneh" dalam buku itu.
Rasanya ia pernah mengenal tulisan seperti itu dahulu.
Namun, sekarang tak pernah dilihatnya di bumi Spanyol.
Akhirnya Roberto duduk di samping sang ustadz yang telah melepas nafas-nafas terakhirnya.
Wajah bengis sang algojo kini diliputi tanda tanya yang dalam.
Mata Roberto rapat terpejam.
Ia berusaha keras mengingat peristiwa yang dialaminya sewaktu masih kanak².
Perlahan, sketsa masa lalu itu tergambar kembali dalam ingatan Roberto.
Pemuda itu teringat ketika suatu sore di masa kanak²nya terjadi kericuhan besar di negeri tempat kelahirannya ini.
Sore itu ia melihat peristiwa yamg mengerikan di lapangan _Inkuisisi_ (lapangan tempat pembantaian kaum muslimin di Andalusia).
Di tempat itu tengah berlangsung pesta darah dan nyawa.
Beribu-ribu jiwa Muslim tak berdosa berjatuhan di bumi Andalusia, Spanyol.
Di ujung kiri lapangan, beberapa puluh wanita berhijab (jilbab) digantung pada tiang² besi yang terpancang tinggi.
Tubuh mereka bergelantungan tertiup angin sore yang kencang, membuat pakaian muslimah yang dikenakan berkibar-kibar di udara.
Sementara, di tengah lapangan ratusan pemuda Islam dibakar hidup² pada tiang² salib, hanya karena tidak mau memasuki agama yang dibawa oleh para rahib..!
Seorang bocah laki² mungil tampan, berumur tujuh tahunan, malam itu masih berdiri tegak di lapangan Inkuisisi yabg telah senyap.
Korban² kebiadaban itu telah syahid semua.
Bocah mungil itu mencucurkan airmatanya menatap sang ibu yang terkulai lemah di tiang gantungan.
Perlahan-lahan bocah itu mendekati tubuh sang ummi (ibu) yang sudah tak bernyawa, sembari menggayuti abayanya.
Sang bocah berkata dg suara parau, _"Ummi ... ummi ... mari kita pulang. Hari telah malam. Bukankah ummi telah berjanji malam ini akan mengajariku lagi tentang alif, ba, ta, tsa ....?_
_Ummi, cepat pulang ke rumah, ummi ..."_
Bocah kecil itu akhirnya menangis keras, ketika sang ummi tak jua menjawab ucapannya.
Ia semakin bingung dan takut, tak tahu harus berbuat apa.
Untuk pulang ke rumah pun ia tak tahu arah.
Akhirnya bocah itu berteriak memanggil bapaknya, _"Abi ... Abi ... Abi ..."_
Namun ia segera terhenti berteriak memanggil sang bapak ketika teringat kemarin sore bapaknya diseret dari rumah oleh beberapa orang berseragam.
_"Hai ... siapa kamu?!"_
teriak segerombolan orang yang tiba-tiba mendekati sang bocah.
_"Saya Ahmad Izzah, sedang menunggu Ummi,"_ jawab sang bocah memohon belas kasih.
_"Hah ... siapa namamu bocah, coba ulangi..!"_ bentak salah seorang dari mereka.
_"Saya Ahmad Izzah ..."_ sang bocah kembali menjawab dengan agak grogi.
Tiba² "plak! sebuah tamparan mendarat di pipi sang bocah.
_"Hai bocah ...! Wajahmu bagus tapi namamu jelek. Aku benci namamu._
_Sekarang kuganti namamu dengan nama yg bagus._
_Namamu sekarang *'Adolf Roberto.*_
_Awas! Jangan kau sebut lagi namamu yg jelek itu._
_Kalau kau sebut lagi nama lamamu itu, nanti akan kubunuh..!"_
ancam laki² itu.
Sang bocah meringis ketakutan, sembari tetap meneteskan air mata.
Anak laki-laki mungil itu hanya menurut ketika gerombolan itu membawanya keluar lapangan Inkuisisi.
Akhirnya bocah tampan itu hidup bersama mereka.
Roberto sadar dari renungannya yang panjang.
Pemuda itu melompat ke arah sang tahanan.
Secepat kilat dirobeknya baju penjara yang melekat pada tubuh sang ustadz.
Ia mencari-cari sesuatu di pusar laki-laki itu.
Ketika ia menemukan sebuah 'tanda hitam' ia berteriak histeris, _"Abi ... Abi ... Abi ..!!."_
Ia pun menangis keras, tak ubahnya seperti Ahmad Izzah dulu.
Pikirannya terus bergelut dengan masa lalunya.
Ia masih ingat betul, bahwa buku kecil yang ada di dalam genggamannya adalah Kitab Suci Al-Qur'an milik bapaknya, yang dulu sering dibawa dan dibaca ayahnya ketika hendak menidurkannya.
Ia juga ingat betul ayahnya mempunyai 'tanda hitam' pada bagian pusar.
Pemuda beringas itu terus meraung dan memeluk erat tubuh renta nan lemah.
Tampak sekali ada penyesalan yang teramat dalam atas ulahnya selama ini.
Lidahnya yang sudah berpuluh-puluh tahun alpa akan Islam, saat itu dengan spontan menyebut,
_"Abi ... aku masih ingat alif, ba, ta, tsa ..."_
Hanya sebatas kata itu yang masih terekam dalam benaknya.
Sang ustadz segera membuka mata ketika merasakan ada tetesan hangat yang membasahi wajahnya.
Dengan tatapan samar dia masih dapat melihat seseorang yang tadi menyiksanya habis²an kini tengah memeluknya.
_"Tunjuki aku pada jalan yang telah engkau tempuh Abi,_
_tunjukkan aku pada jalan itu ..."_ terdengar suara Roberto memelas.
Sang ustadz tengah mengatur nafas untuk berkata-kata, ia lalu memejamkan matanya.
Air matanya pun turut berlinang.
Betapa tidak, jika sekian puluh tahun kemudian, ternyata ia masih sempat berjumpa dengan buah hatinya, di tempat ini.
Sungguh tak masuk akal.
Ini semata-mata bukti kebesaran Allah.
Sang Abi dengan susah payah masih bisa berucap,
_"Anakku, pergilah engkau ke Mesir. Di sana banyak saudaramu._
_Katakan saja bahwa engkau kenal dengan Syaikh Abdullah Fattah Ismail Al-Andalusy._
_Belajarlah engkau di negeri itu."_
Setelah selesai berpesan, sang ustadz menghembuskan nafas terakhir dengan berbekal kalimah indah,
_"Asyhadu an-laa Ilaaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasullullah ...'._
Beliau pergi menemui Rabbnya dg tersenyum, setelah sekian lama berjuang di bumi yg fana ini...
Kemudian...
Ahmad Izzah mendalami Islam dengan sungguh² hingga akhirnya ia menjadi seorang ulama besar di Mesir.
Seluruh hidupnya dibaktikan untuk Islam, sebagai ganti kekafiran yang di masa muda sempat disandangnya.
Banyak pemuda Islam dari berbagai penjuru dunia berguru dengannya.
Dialah ... *"Al-Ustadz Ahmad Izzah Al-Andalusy."*
-----------------
Benarlah firman Allah swt ...
_"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrahnya itu._
_Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui."_
(QS:30:30)
Masya Allah...!
Mudah2an Allah selalu membimbing kita di jalan Nya yang lurus, dan menyelimuti kita dengan cahaya-Nya yang tak pernah padam.
Selamat beribadah.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan