Isnin, 19 Disember 2011

Tutuplah aib saudaramu

Masih segar dalam ingatan kaum muslimintatkala Rasulullah bersabda, "Aku bermimpi dalam tidur memegang segelassusu. Kuminum hampir habis susu itu sampai rasa kenyang menyelusup dikuku-kukuku. Lalu sisanya kuberikan kepada Saidina Umar bin Khattab ra.
Waktu seorangsahabat bertanya, "Apa takwilnya, ya Rasulullah?"
Nabi Muhammad saw menjawab, "Ilmu."

    Nyatanya, semasa memegang jabatan khalifah, Saidina Umar bin Khattab ra tersohorkekerasan & kegalakannya. Akan tetapi, ilmunya menerangi semua sikap hidupnya,sehingga, dalam memutuskan suatu perkara, yang dipedomaninya adalah kecerdasanpemikirannya, bukan sentuhan perasaannya.

Selaku penguasa ia tidak terpengaruholeh kemarahannya, kesedihannya, atau kepentingan peribadi & keluarganya.
Iapernah berkata, "Membatalkan hukuman dengan diam-diam, bagiku lebih baikdaripada melaksanakan hukuman dengan diam-diam."
    Sebab, membatalkan hukuman biasanya dilandasi oleh kebijaksanaan & ampunan,
sedangkan menjatuhkan hukuman bisa lantaran benci & balas dendam.
Apalagijika dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

    Seorang ayah pada suatu saat datang kepada Saidina Umar ra & mengadu,
"Anakperempuanku, wahai Amirul Mukminin, pernah terjerumus kedalam dosa besar.
Iapatah hati, lantas mengambil pisau & mengerat lehernya sendiri.Untung aku mengetahuinya.
Anak itu kuselamatkan, lukanya kurawat dengan cermathingga segar-bugar kembali."

    Saidina Umar ra merungut.
"Hem, mujur anak engkau itu. Bunuh diri adalah tandakekufuran. Ia harus bertaubat.
Ayah itu menjawab,
"Memang itulah yangdikerjakannya sesudah itu. Ia menyesal & bertaubat dengan sungguh-sungguh.
Sekarang ia dipinang seorang pemuda untuk jadi isterinya.
Apakah dosa itu haruskuceritakan kepada calon suaminya, wahai Amirul Mukminin?

" Saidina Umar ra bertitahlantang, "Apakah engkau bermaksud membongkar
aibyang sengaja telah ditutupi oleh Allah takdir-Nya?
Demi Allah, seandainyakau lakukan hal itu, akan kuhukum engkau sedemikian rupa didepan masyarakatsehingga menjadi contoh pahit bagi yang lain. Tidak, jangan kau ungkap kembalicacat yang sudah terhapus itu. Nikahkanlah puteri engkau sebagaimana layaknyaseorang perempuan terhormat & Muslimat yang taat."


    Mungkin itulah yang dinamakan kearifan, tumbuh dari rohani yang bersih & adil. Saidina Umar ra tidak segan-segan menceritakan kesalahannya pada hakim & memintaalgojo mencambuknya sesuai dengan besar kecil kesalahan yang dilakukannya. Dipunggungnya membekas bekas-bekas cemeti itu, tanpa sekelumit pun Saidina Umar ra menampilkankuasanya sebagai khalifah untuk diberi keringanan.
    Namun, Saidina Umar ra tidak ingin cacat orang lain dibeber-beberkan.
Sebab, terhadap orangbersalah, yang diharapkan adalah memperbaiki, bukan memerosakkannya ke dalamkejahatan yang lebih besar.

Kepada mereka yang telah selesai menjalani masahukumannya, seharusnya masyarakat memberi kesempatan untuk menebus dosanyadimasa lalu, bukan mengucilkannya sehingga terpaksa mereka terperangkap ke dalamkeburukan kembali.

    Seorang lelaki seraya termengah-mengah datang menghadap Saidina Umar ra. Mukanya merah padam & suaranya menggelegar manakala ia bercerita, "Wahai, Amirul Mukminin.Saya melihat dengan mata kepala sendiri pemuda Fulan & pemudi Fulanahberpelukan dengan mesra di belakang pohon kurma."
    Laki-laki itu berharap Saidina Umar akan memanggil kedua asyik masyuk itu & memerintahkan algojo supaya menderanya dengan cemeti.

Ternyata tidak.
Saidina Umar ra mencengkeram leher baju laki-laki itu. Sambil memukulnya dengan gagang pedang, Saidina Umar ra mengherdik,
"Kenapa engkau tidak menutupi kejelekan mereka & berusaha agar mereka bertaubat?
Tidakkah engkau ingat akan sabda Rasulullah saw,
"Siapa yang menutupi aib saudaranya, Allah swt akan menutupi keburukannya di dunia & di akhirat."



    Dalam nalar Saidina Umar ra, bila kedua muda-mudi itu dipermalukan di tengah orang ramai,
boleh jadi mereka akan nekat lantaran tidak tahu kemana hendak menyembunyikandiri.
Bukanlah bubu maksiat yang lebih parah akan mengurung mereka dalam nistaberketerusan?

    Pada kali yang lain, seorang Muslim diseret ke hadapannya kerana mengerjakansuatu dosa yang patut menerima hukuman cambuk. Tiga orang saksi mata telahmengemukakan pernyataan yang membuktikan kesalahan lelaki Muslim itu. Tinggalseorang lagi yang merupakan penentuan, apakah hukuman dera harus dijatuhkan ataudiurungkan.

    Ketika saksi keempat itu diajukan, Saidina Umar ra berkata,
"Aku menunggu seoranghamba beriman yang semoga Allah tidak akan mengungkapkan kejelekan sesamaMuslim dengan kesaksiannya."
    Dengan lega saksi keempat itu menyatakan,
"Saya tidak melihat suatukesalahan yang menyebabkan lelaki itu wajib dihukum cambuk."


Saidina Umar Al-Khattab ra pun menarik nafas lega =

Tiada ulasan:

Catat Ulasan